Rabu, 01 April 2015

Manusia di Bawah Rata-Rata


This... is bad, semakin dewasa gue bukannya menemukan jati diri malah makin tersesat. Di saat seumuran gue udah mulai menemukan jati dirinya, menemukan jalannya, tau arah, tau tujuan; gue malah semakin drowning, semakin tersesat dan terus-terusan mengalami kemunduran jati diri. Yang tadinya begini, jadi gak begini lagi. Yang tadinya begitu, jadi gak begitu lagi. Hal-hal positif kayak menguap entah kemana.

Di luar sana, everything seems unreachable. Semua itu bikin gue sadar gue manusia di bawah rata-rata dari banyak segi...


Pemaaf (atau gak peduli?)
Banyak yang bilang pemaaf itu kelebihan gue. Keliatannya aja gue tempramental padahal pemaaf. Tapi justru itu kekurangan gue, itu yang bikin gue di bawah rata-rata. Gue gak pernah belajar berhati-hati, gue gak pernah belajar ngambil hikmah, gue selalu "ya udahlah... udah lewat", "ya udahlah, gak apa-apa", "ya udahlah... udah gak penting". Karena itulah gue disembarangin orang. Gue gak punya bakat melihara kemarahan/dendam. Tapi anehnya, sifat "pemaaf" itu gak berlaku ke diri gue sendiri. Belakangan gue mulai ragu sama gelar "pemaaf" ini, benarkah gue "pemaaf" atau gue sebenernya "gak peduli"?

Trust
Semakin lama semakin jelas gue gak percaya satu manusia pun di muka bumi ini. Termasuk diri gue sendiri. Gue inget, quote original pertama gue bunyinya...
"Aku tak percaya siapa pun di dunia ini, termasuk diriku sendiri. Aku tak mencintai siapa pun di dunia ini, termasuk diriku sendiri."
Quote itu dibuat waktu nyaris lulus SMP, tanpa sadar, pas masih bau kencur gitu gue udah nyurahin jeritan alam bawah sadar gue. Dan gue baru bisa mengkonfirmasi ke diri sendiri aka mengakui kebenaran akan quote tersebut sekarang, setelah look everything back. Like... "Iya ya, dulu gue bisa ngomong gitu karena udah dikecewain berkali-kali dan denial (sok gak peduli, sok baik-baik aja) tapi tanpa sadar alam bawah sadar gue nyiptain quote lenje yang melekat banget di hidup gue sampe sekarang." Dari banyak aspek: family, love, friend, even whole the world; I've been fucked up. And clearly gue gak sekuat mereka yang bisa menahan kekecewaan yang terakumulasi. Maybe right toleransi gue tinggi, tapi gue gak sehebat mereka yang mampu bangkit untuk percaya dunia lagi. Gue jelas di bawah rata-rata untuk hal ini.

Self Bullying
--yang jatohnya malah ke self destructive, gue gak sekeren mereka yang bisa mencintai diri sendiri. Setiap rinci kesalahan-kesalahan gue rasanya makin bengkak dan siap pecah suatu saat when I totally lost my self. Dan gue bener-bener kesulitan untuk maafin diri sendiri. Ini yang bikin gue di bawah rata-rata: dengan egoisnya gue nganggep gue cuma 'folk sekaligus judge' atas diri gue, seolah semua itu dilakuin diri gue yang lain dan gue yang ini kerjanya ngritik sama ngomel doang tanpa rasa empati. Gue siap depresi mendadak kalo lagi waras untuk menyadari hal itu.

Energi
Gue gak sehebat mereka yang punya energi untuk bersosialisasi. Pandangan gue ke dunia terlanjur berubah, semua ini bullshit, semua ini gak penting, semua ini palsu, palsu, bulshit, gak penting............. yang bikin gue males bersosialisasi. Pandangan gue soal friendship juga geser, bagi gue temen itu yang penting ada yang penting ngerti, gak melulu harus hangout, gak melulu harus bareng, gak mesti ngadoin pas ultah yang penting doa tulusnya--sayangnya modal rasa tulus itu nyaris selalu dianggap sebelah mata. Gue gak punya energi kayak orang-orang buat berekspresi dan bergombal ria. Gue di bawah rata-rata.............

Pengecut
Gue gak seberani mereka untuk mencoba lagi. Akibatnya gue jalan di atas tanah kehampaan. Semamkin hari gue ngerasa semakin hampa, bahasa lenjenya: kesepian.

Low Guts
aka nyali gue kecil, gue gak punya nyali untuk percaya seseorang, tapi meski gitu gue tetap punya orang spesial: nyokap, someone, dan kichigai : beberapa temen di SMK yang udah gue anggap sahabat, mereka ini golongan spesial walau jarang berkomunikasi sekarang (kadang gue kangen banget tapi gak bisa bilang, takut gangguin, gue terlalu cengeng soalnya--jadi pengen lari ke mereka terus kadang-kadang, tapi ya itu. gue takut ngeganggu). Bolehlah gue fearless sama sesama manusia dalam hal ngebacot atau tonjok-tonjokan, tapi nyali gue gak segede mereka yang berani jujur nunjukin air matanya kesedihan hatinya ke orang lain. Gue takut kehilangan sih kalo gue terlalu cengeng dan jatohnya annoying. Gue ngerasa bersalah karena ini sama aja gue gak percaya temen gue. But it can't be helped.
Gue paling benci keliatan lemah. Somehow gue ngerasa curhatan gue di blog ini gak ada yang baca dan di sinilah gue jujur lewat tulisan kalo: gue cuma pura-pura kuat, kesan keseharian tengil nan angkuh sebenernya gak sengaja, cuma refleksi dari kebencian gue sama "dianggap lemah".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar