Kamis, 10 April 2014

Mata kecil mereka melihat dan mendengar


Suatu malam ada pembeli di warung orang tuaku, pembeli itu adalah seorang Ibu yang membawa anak perempuannya, kira-kira berumur enam tahun. Beliau berdiri di depan pendingin sambil bertanya, “V*t berapa?”

Mamaku menjawab, “Dua ribu.”

Ibu itu memberikan uangnya dua ribu, mengambil minuman di pendingin dan melengos pergi begitu saja bersama anaknya. Mamaku sempat terlihat bingung gitu, terus dia menghampiri Ibu tadi. Sekembalinya mama ke warung, aku bertanya apa yang terjadi.

Kata Mama, Ibu tadi nanyain harga V*t botol, tapi yang diambil Aq*a botol—yang mana harganya jelas-jelas berbeda. V*t Rp2.000,- sedangkan Aq*a Rp2.500,-

Mungkin bagi orang lain perbedaan lima ratus perak adalah kecil dan sepele. Tapi lain lho kalau yang mengalaminya pedagang, apa lagi orang tuaku termasuk pedagang yang mengambil untuk nipis yang penting laris.

Bukan tanpa alasan pula mamaku segitunya sampe repot-repot nyamperin Ibu tadi. Ibu pembeli itu adalah tetangga belakang rumah. Dia memang sering begitu. Kalau lagi nggak punya uang ke warung kami, giliran punya uang ke warung lain. Dan dia bayar dua ribu tapi ngambil Aq*a bukan tanpa sengaja. Dia sengaja melakukannya (nanya-nya V*t, ngambilnya Aq*a)—dan aku yakin dengan hobi ‘berkelana ke setiap warung’nya itu harusnya membuat dia mengerti kalau di warung lain sepanjang jalan nggak akan ada harga yang semurah ini.

Katanya wajahnya nggak nunjukin mimik kaget atau merasa salah, justru mimik kesal sambil bilang, “Ya udah, gampang besok ya…” padahal posisinya dia sedang beli es kelapa depan rumah. Ngeselin nggak tuh? Dan sampai sebulan juga itu Ibu-Ibu nggak bayar, malah beli beras ke toko sebelah warung ortuku. Persis. Kurang baik apa coba ortuku diam aja? (Note: hutangnya nggak cuma lima ratus perak soal minuman, tapi yang sebelum-sebelumnya juga)

Yang agak heran, dia bawa anak perempuan yang menyaksikan perbuatan Ibunya. Anak perempuan yang selalu dibawanya. Anak itu mungkin enam tahun lebih usianya. Biar dia diam tapi aku yakin dia menyaksikan bagaimana perangai Ibunya. Anak itu mungkin terlihat tak mengerti sekarang, tapi suatu hari nanti ia akan bereaksi jika sudah mengerti.

Di hari yang lain, ada Ibu lain dan anak laki-lakinya datang membeli persediaan dapur. Anak laki-laki itu nakal sekali, dia mainin beras dengan kedua tangannya yang belum tentu higenis. Yang aku heran, Ibunya diam saja. Ibunya nggak menegur anaknya. Sama mamaku sudah diingetin, “Jangan main beras ya dek…” tapi anak itu nggak ngegubris dan Ibunya juga nggak ‘perasaan’ sama sekali -_- padahal sudah dengar anaknya ditegur.

Nggak sampai di situ, sebelum pulang, anak itu ambil segenggam beras dengan kedua tangannya dan melemparnya di jalananan. Disebar-sebar begitu. Padahal Ibunya nggak beli beras di kami.

Herannya lagi, IBUNYA DIAM SAJA.

HELLO, BERAS ITU, BUK!

Dua genggam terlihat sedikit ya? Tapi kalau itu dimasak, matangnya jadi sepiring, Bunda :) Aku selalu diberi wejangan dari Mama, pamali buang air bersih atau buang beras di jalan. Air bersih dan beras itu bahan makanan pokok. Dosa sekali jika membuangnya dengan sia-sia.

Inilah kesalahan orang tua perumahan menengah ke bawah yang kurang peduli sama anaknya sendiri.

Orang tua yang tidak peduli dengan sikapnya sendiri di depan anak adalah orang tua yang sengaja membunuh karakter anaknya. Dan orang tua yang tidak peduli dengan kesalahan anak di masa kecil (mungkin karena terlalu sayang atau apa) juga membunuh karakter anaknya sendiri.

BAGI ANAK, orang tua adalah panutan mereka. Karena orang tua merupakan orang terdekat mereka, yang ada di sekitar mereka. Secara naruliah anak akan menjadi imitasi (tiruan) orang tuanya. Misal cara bicara, bahasa dan perilaku. Jadi penting, bagi orang tua memberikan contoh yang baik pada anaknya. Sebisa mungkin menyembunyikan sifat tercela—yang anda punya.

DAN SEHARUSNYA, anak yang salah itu WAJIB dibenahi orang tuanya. Diluruskan.

“Begini, lho, nak…”
“Ini nggak boleh, nak…”
“Jangan sayang, itu nggak bagus.”

Bukan memberikan contoh yang tidak baik dan diam saja ketika anaknya berperilaku tidak baik.

Apa lagi kalau anaknya masih di bawah tujuh tahun.

Dulu waktu aku kecil, kira-kira TK atau SD. Mamaku pergi ke warung, beliau kurang uang seratus rupiah. Sampai rumah, Mama nitip uang SERATUS RUPIAH dan nyuruh aku kembali ke warung tersebut.

“Ngapain, sih, Ma? Seratus doang,” keluhku yang merasa uang segitu bisanya buat beli permen aja.

Mama jawab, “Kalo kamu punya hutang, meski itu se-sen pun harus tetap dibayar. Karena itu hak orang lain dan kita nggak berhak untuk menyimpannya. Itu juga bakal jadi tanggungan di akhirat nanti kalau misal orangnya nggak ikhlas. Bisa-bisa kita nggak jadi masuk surga cuma karena orang yang kita hutangi itu nggak ikhlas.” Diakhiri candaan. Aku nggak merespon apa pun waktu itu karena nggak begitu paham maksudnya.

Sekarang aku sudah paham.

Itu memori sudah lama sekali. Sedangkan sekarang aku sembilan belas tahun. Walau mama nggak ngulang omongan yang itu lagi, tapi sampai sekarang percakapan tersebut seolah menjadi penjagaku setiap punya hutang. Aku selalu teringat, sekecil apa pun hutang, tetap harus dibayar. Nggak cuma karena bakal jadi tanggungan di akhirat, tapi aku juga ngerasa bersalah kalau sampai ada orang yang ‘merugi’ karena uangnya di aku padahal dia lagi butuh.

See?


Anak kecil mungkin diam tak merespon. JANGAN ANGGAP MEREKA NGGAK DENGAR, NGGAK LIHAT ATAU NGGAK MENGERTI DAN MUDAH MELUPAKANNYA. Justru mata kecil mereka melihat dan mencerna. So, Bunda-Bunda sekalian pikirkan mental dan karakter anak Bunda ya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar