Suatu malam ada pembeli
di warung orang tuaku, pembeli itu adalah seorang Ibu yang membawa anak
perempuannya, kira-kira berumur enam tahun. Beliau berdiri di depan pendingin
sambil bertanya, “V*t berapa?”
Mamaku menjawab, “Dua ribu.”
Ibu itu memberikan uangnya dua ribu, mengambil minuman di
pendingin dan melengos pergi begitu saja bersama anaknya. Mamaku sempat
terlihat bingung gitu, terus dia menghampiri Ibu tadi. Sekembalinya mama ke
warung, aku bertanya apa yang terjadi.
Kata Mama, Ibu tadi nanyain harga V*t botol, tapi yang
diambil Aq*a botol—yang mana harganya jelas-jelas berbeda. V*t Rp2.000,-
sedangkan Aq*a Rp2.500,-
Mungkin bagi orang lain perbedaan lima ratus perak adalah
kecil dan sepele. Tapi lain lho kalau yang mengalaminya pedagang, apa lagi
orang tuaku termasuk pedagang yang mengambil untuk nipis yang penting laris.
Bukan tanpa alasan pula mamaku segitunya sampe repot-repot
nyamperin Ibu tadi. Ibu pembeli itu adalah tetangga belakang rumah. Dia memang
sering begitu. Kalau lagi nggak punya uang ke warung kami, giliran punya uang
ke warung lain. Dan dia bayar dua ribu tapi ngambil Aq*a bukan tanpa sengaja.
Dia sengaja melakukannya (nanya-nya V*t, ngambilnya Aq*a)—dan aku yakin dengan
hobi ‘berkelana ke setiap warung’nya itu harusnya membuat dia mengerti kalau di
warung lain sepanjang jalan nggak akan ada harga yang semurah ini.
Katanya wajahnya nggak nunjukin mimik kaget atau merasa
salah, justru mimik kesal sambil bilang, “Ya udah, gampang besok ya…” padahal
posisinya dia sedang beli es kelapa depan rumah. Ngeselin nggak tuh? Dan sampai
sebulan juga itu Ibu-Ibu nggak bayar, malah beli beras ke toko sebelah warung
ortuku. Persis. Kurang baik apa coba ortuku diam aja? (Note: hutangnya nggak
cuma lima ratus perak soal minuman, tapi yang sebelum-sebelumnya juga)
Yang agak heran, dia bawa anak perempuan yang menyaksikan
perbuatan Ibunya. Anak perempuan yang selalu dibawanya. Anak itu mungkin enam
tahun lebih usianya. Biar dia diam tapi aku yakin dia menyaksikan bagaimana
perangai Ibunya. Anak itu mungkin terlihat tak mengerti sekarang, tapi suatu
hari nanti ia akan bereaksi jika sudah mengerti.
Di hari yang lain, ada Ibu lain dan anak laki-lakinya datang
membeli persediaan dapur. Anak laki-laki itu nakal sekali, dia mainin beras
dengan kedua tangannya yang belum tentu higenis. Yang aku heran, Ibunya diam
saja. Ibunya nggak menegur anaknya. Sama mamaku sudah diingetin, “Jangan main
beras ya dek…” tapi anak itu nggak ngegubris dan Ibunya juga nggak ‘perasaan’
sama sekali -_- padahal sudah dengar anaknya ditegur.
Nggak sampai di situ, sebelum pulang, anak itu ambil
segenggam beras dengan kedua tangannya dan melemparnya di jalananan.
Disebar-sebar begitu. Padahal Ibunya nggak beli beras di kami.
Herannya lagi, IBUNYA DIAM SAJA.
HELLO, BERAS ITU, BUK!
Dua genggam terlihat sedikit ya? Tapi kalau itu dimasak,
matangnya jadi sepiring, Bunda :) Aku selalu diberi wejangan dari Mama, pamali buang air
bersih atau buang beras di jalan. Air bersih dan beras itu bahan makanan pokok.
Dosa sekali jika membuangnya dengan sia-sia.
Inilah kesalahan orang tua perumahan menengah ke bawah yang
kurang peduli sama anaknya sendiri.
Orang tua yang tidak peduli dengan sikapnya sendiri di depan
anak adalah orang tua yang sengaja membunuh karakter anaknya. Dan orang tua
yang tidak peduli dengan kesalahan anak di masa kecil (mungkin karena terlalu
sayang atau apa) juga membunuh karakter anaknya sendiri.
BAGI ANAK, orang tua adalah panutan mereka. Karena orang tua
merupakan orang terdekat mereka, yang ada di sekitar mereka. Secara naruliah
anak akan menjadi imitasi (tiruan) orang tuanya. Misal cara bicara, bahasa dan
perilaku. Jadi penting, bagi orang tua memberikan contoh yang baik pada
anaknya. Sebisa mungkin menyembunyikan sifat tercela—yang anda punya.
DAN SEHARUSNYA, anak yang salah itu WAJIB dibenahi orang
tuanya. Diluruskan.
“Begini, lho, nak…”
“Ini nggak boleh, nak…”
“Jangan sayang, itu nggak bagus.”
Bukan memberikan contoh yang tidak baik dan diam saja ketika
anaknya berperilaku tidak baik.
Apa lagi kalau anaknya masih di bawah tujuh tahun.
Dulu waktu aku kecil, kira-kira TK atau SD. Mamaku pergi ke
warung, beliau kurang uang seratus rupiah. Sampai rumah, Mama nitip uang
SERATUS RUPIAH dan nyuruh aku kembali ke warung tersebut.
“Ngapain, sih, Ma? Seratus doang,” keluhku yang merasa uang
segitu bisanya buat beli permen aja.
Mama jawab, “Kalo kamu punya hutang, meski itu se-sen pun
harus tetap dibayar. Karena itu hak orang lain dan kita nggak berhak untuk
menyimpannya. Itu juga bakal jadi tanggungan di akhirat nanti kalau misal
orangnya nggak ikhlas. Bisa-bisa kita nggak jadi masuk surga cuma karena orang
yang kita hutangi itu nggak ikhlas.” Diakhiri candaan. Aku nggak merespon apa
pun waktu itu karena nggak begitu paham maksudnya.
Sekarang aku sudah paham.
Itu memori sudah lama sekali. Sedangkan sekarang aku
sembilan belas tahun. Walau mama nggak ngulang omongan yang itu lagi, tapi
sampai sekarang percakapan tersebut seolah menjadi penjagaku setiap punya
hutang. Aku selalu teringat, sekecil apa pun hutang, tetap harus dibayar. Nggak
cuma karena bakal jadi tanggungan di akhirat, tapi aku juga ngerasa bersalah
kalau sampai ada orang yang ‘merugi’ karena uangnya di aku padahal dia lagi
butuh.
See?
Anak kecil mungkin diam tak merespon. JANGAN ANGGAP MEREKA
NGGAK DENGAR, NGGAK LIHAT ATAU NGGAK MENGERTI DAN MUDAH MELUPAKANNYA. Justru mata kecil mereka melihat dan mencerna.
So, Bunda-Bunda sekalian pikirkan
mental dan karakter anak Bunda ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar